Ada sesuatu yang menarik dalam cara orang memandang Jepang. Bukan sekadar negara, melainkan sebuah dunia yang memikat, entah melalui layar kaca, lembaran manga, atau janji upah yang menggiurkan.
Bahasa Jepang bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan kunci yang membuka pintu imajinasi atau bahkan nasib.
Mereka yang Terpesona
Mereka datang dengan mata berbinar, seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat salju. Jepang, bagi mereka, adalah negeri ajaib yang memancarkan pesona melalui anime, manga, ramen yang menguap panas, atau denting shamisen yang melintasi zaman.
Bagi kelompok ini, belajar bahasa Jepang adalah jalan untuk menyelami dunia yang sudah lama mereka kagumi, tanpa perlu lagi menunggu subtitle, tanpa lagi tersandung terjemahan yang kaku.
Ada candu dalam budaya pop Jepang. Seorang penggemar berat mungkin akan bersusah payah menghafal kanji hanya agar bisa tertawa tepat saat lawakan dalam owarai terlontar, tanpa jeda terjemahan yang merusak timing.
Bahasa menjadi penghubung emosi, cara untuk merasakan Jepang tidak hanya sebagai penonton, melainkan sebagai bagian dari cerita itu sendiri.
Mereka yang Mencari Nafkah
Namun, tidak semua orang belajar bahasa Jepang karena cinta. Ada juga yang datang karena desakan ekonomi, karena upah minimum di Jepang bisa sepuluh kali lipat dari gaji buruh pabrik di kampung halaman.
Jepang sedang kekurangan tenaga kerja muda, dan pintu imigrasi terbuka lebar bagi mereka yang bersedia menjadi rōdōsha: pekerja asing yang mengisi kekosongan di pabrik, restoran, atau pertanian.
Bagi mereka, bahasa Jepang bukan sekadar kata-kata, melainkan tiket menuju kehidupan yang lebih baik. Bukan tentang memahami lirik lagu J-pop, melainkan tentang bisa membaca kontrak kerja atau menegosiasikan gaji. Mereka mungkin tidak pernah menonton One Piece, tapi mereka tahu betul bahwa N5 JLPT adalah syarat minimum untuk bisa bertahan.
Pada akhirnya, kedua kelompok ini, yang terpesona dan yang terpaksa, adalah cermin dari hasrat manusia yang paling dasar: keinginan untuk meraih sesuatu yang lebih. Entah itu kebahagiaan lewat budaya atau keselamatan lewat ekonomi, bahasa Jepang hanyalah alat.
Belajar bahasa Jepang, dengan demikian, bukan sekadar urusan kata dan tata bahasa. Ia adalah tentang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Dan di antara kedua kutub itu, bahasa tetap menjadi jembatan, entah untuk mimpi, atau sekadar untuk bertahan hidup.