Male Gaze: Ketika Kapitalisme Mengubah Tubuh Perempuan Jadi Komoditas

male gaze lingerie photoshoot gravure idol

Jika pernah menonton sebuah film, di mana kamera mengelus lekuk tubuh perempuan seperti tangan lapar, atau ketika adegan diperlambat hanya untuk menangkap desahan sang heroine yang basah oleh keringat, maka kau telah menjadi saksi dari male gaze.

Tapi jangan salah, ini bukan sekadar pandangan, melainkan sebuah kekuasaan. Sebuah cara melihat yang mengubah tubuh perempuan menjadi panggung, sementara laki-laki duduk di kursi penonton dengan tiket gratis sejak zaman Aristoteles.

Male Gaze dan Bagaimana Patriarki Membunuh Cara Pandang Kita 

Laura Mulvey, dalam Visual and Other Pleasures (1975), membedah konsep ini dengan pisau psikoanalisis Freudian dan kritik sinema. Male gaze bukanlah fenomena kebetulan, melainkan struktur yang dibangun oleh patriarki melalui film, iklan, seni, bahkan cara kita bercerita.

Perempuan ada untuk dilihat, sementara laki-laki melihat. Perempuan adalah objek, laki-laki adalah subjek. Dan dalam sinema, seperti dalam hidup, subjek selalu punya hak istimewa untuk mengarahkan pandangan, sementara objek hanya bisa diam, tersenyum, atau bergerak sesuai skenario.

Dari mana asal male gaze? Mulvey menunjuk dua mesin yang menggerakkannya: voyeurism dan fetishism. Yang pertama adalah kenikmatan mengintip, mengontrol perempuan dari balik lensa. Yang kedua adalah obsesi memuja tubuh perempuan sebagai sesuatu yang harus disempurnakan, dihias, tapi sekaligus ditakuti. 

Dari adegan-adegan di film Hitchcock atau pose Marilyn Monroe yang selalu seolah-olah sadar dia sedang ditatap, itu bukan kebetulan. Itu adalah bahasa visual yang dirancang untuk memuaskan hasrat laki-laki, sementara perempuan sendiri tidak punya hak untuk menentukan bagaimana dirinya ingin dilihat.

Yang menarik, dan ini sering dilupakan, male gaze bukan cuma soal laki-laki memandang perempuan. Ia juga tentang bagaimana perempuan diajarkan untuk memandang dirinya sendiri melalui kaca mata laki-laki. 

Pernah melihat iklan sabun yang menjanjikan kulit "lebih lembut untuk disentuh"? Atau adegan di mana perempuan berdiri di depan cermin, meragukan kecantikannya, sementara kamera dengan setia merekam setiap inci ketidakpastiannya? Itu adalah male gaze yang sudah meresap ke dalam kesadaran, mengubah perempuan menjadi penjaga penjara bagi tubuhnya sendiri.

Lalu, apakah kita bisa melawan male gaze? Mulvey menawarkan solusi radikal: menghancurkan bahasa sinema yang sudah terlanjur phallocentric. Tapi mungkin, sebelum sampai ke sana, kita bisa mulai dengan bertanya: siapa yang punya hak untuk melihat, dan siapa yang dipaksa untuk selalu terlihat?

Seperti kata John Berger dalam Ways of Seeing, "Laki-laki bertindak, perempuan muncul." Dan selama perempuan hanya muncul, bukan bertindak, maka male gaze akan tetap menjadi kurator tunggal dalam pameran tubuh perempuan.

Akhirnya, male gaze bukan sekadar persoalan estetika, melainkan politik. Ia adalah cara patriarki menuliskan cerita dengan tinta yang tak terlihat, tapi membekas di setiap sudut pandang kita. Dan selama kita tidak menyadarinya, kita semua, tanpa terkecuali, akan tetap menjadi penonton yang patuh.

Pekerja teks komersial, juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku dengan kearifan lokal

Posting Komentar

© Kopi Bandung. All rights reserved. Developed by Jago Desain