Bagi banyak otaku, sebutan buat penggemar budaya pop Jepang sebelum digeser istilah "wibu", majalah Animonster menjadi semacam kitab suci.
Majalah ini adalah panduan pertama mengenali istilah-istilah seperti “mecha”, “shonen”, dan “shojo.” Saat itu, istilah-istilah ini nyaris tak terdengar di luar lingkup terbatas kalangan penggemar.
Dengan tulisan mengalir, disertai visual memukau, Animonster mengurai dunia anime dan manga menjadi sesuatu yang dapat dipahami, bahkan oleh pembaca awam yang baru tersentuh oleh satu atau dua judul anime di televisi.
Dari Obrolan ke Halaman Cetak
Awalnya, mereka hanya sekumpulan orang yang ngobrol ngaler-ngidul tentang Gundam, Final Fantasy, atau Metal Gear Solid, campur aduk dalam bahasa Sunda, seringnya dengan istilah-istilah geek yang bikin pening di telinga awam. Tapi di era PlayStation sedang mengguncang dunia, di saat Nintendo dan Sega mulai terengah-engah, obrolan-obrolan itu tak lagi bisa dibendung.
Majalah GameStation muncul, tapi pasar haus lebih. Anime dan manga makin meledak, dan Megindo yang jadi nama penerbit secara bisnis dibangun oleh kokoh-kokoh tadi. Megindo memutuskan bikin majalah khusus. Maka, pada tahun 2000, lahirlah Animonster. Tebalnya 50an halaman lebih, terbit sebulan sekali, dan menjadi kitab suci bagi para penggemar yang selama ini hanya mengandalkan info selewatan dari kaset bajakan atau rumor di warung internet.
Kantor Megindo berpindah-pindah. Dari Sulanjana ke Moh. Iskat dekat Stasiun Kereta Api Bandung, lalu akhirnya menetap di Ranggamalela, terhubung dengan outlet game Vega. Toko-toko Vega itu sendiri seperti oasis di gurun: di Gatot Subroto, di Borma Kopo, di Cihampelas, tempat di mana anak-anak Bandung menghabiskan uang jajan untuk cocoan.
Di sudut Bandung, Animonster disusun. Materinya disuplai dari Newtype dan Animage, dua majalah Jepang yang jadi rujukan utama. Ketika Kira Yamato dan Athrun Zala berebut tempat di survei karakter terbaik, ketika Hideo Kojima masih jadi karyawan di Konami, Animonster-lah yang memberitakan semuanya, dengan bahasa Indonesia, dengan konteks lokal.
Animonster bukan cuma media. Ia adalah ruang sosial. Rubrik surat pembacanya menjadi semacam café virtual tempat para otaku berbagi cerita: ada yang mengeluh karena spoiler, ada yang curhat tentang kesulitan mencari VCD Cowboy Bebop, ada yang sekadar ingin bilang, “Aku ngefans berat sama Misato!”
Di era ketika akses ke Jepang masih terbatas, ketika streaming adalah mimpi yang jauh, Animonster menjadi jembatan. Ia memperkenalkan istilah-istilah seperti mecha, shonen, shojo, kata-kata yang kini sudah biasa, tapi dulu adalah semacam bahasa rahasia yang hanya dipahami segelintir orang.
Senjakala Media Cetak
Ibarat kompas yang menunjuk arah, Animonster membantu para otaku memahami dan mengeksplorasi pop kultur Jepang dalam era di mana akses informasi masih terbatas.
Ia tetap dikenang sebagai sebuah artefak budaya pop yang menjadi bagian dari masa remaja para otaku era 90-an hingga 2000-an awal. Bagi mereka, Animonster tidak sekadar majalah; ia adalah pembimbing, guru, dan teman yang setia mengiringi perjalanan mereka menyusuri dunia anime dan manga.
Lalu internet datang. Informasi yang dulu harus ditunggu sebulan, kini bisa didapat dalam hitungan detik. Forum-forum online tumbuh, fansub merajalela, dan Animonster pelan-pelan kehilangan relevansi.
Tapi seperti halnya kompas yang kalah oleh GPS, ia tidak mati begitu saja. Ia tetap dikenang. Sebagai artefak. Sebagai saksi. Sebagai bagian dari masa kecil dan remaja para otaku yang dulu harus berjuang lebih keras hanya untuk tahu apa yang terjadi di episode terbaru One Piece.
Kini, kantornya sudah tak ada. Majalahnya berada di tumpukan loak atau berdebu di kolektor. Tapi di suatu sudut Bandung, di antara orang-orang yang dulu pernah membacanya, Animonster masih hidup sebagai kenangan, sebagai nostalgia, sebagai bukti bahwa sebelum ada internet, kita pernah bersatu lewat kertas dan tinta.