Ada dua jenis manusia di kedai kopi: yang menyeruput pelan-pelan, dan yang meneguk lalu pergi. Tapi di Bandung, kota tempat waktu kadang menguap lalu mengendap di antara asap rokok dan gemericik air mancur, dua ritme ini bukan sekadar pilihan, melainkan pertanyaan filosofis.
Slow bar dan fast bar bukan cuma soal kecepatan seduh, tapi bagaimana seseorang memaknai ngopi sebagai bagian dari hidupnya.
Slow Bar dan Fast Bar: Ritme Ngopi dan Semesta yang Berlari di Bandung
Di slow bar, segelas kopi adalah teater. Barista bekerja seperti pendeta, menggerus biji, menuang air panas dengan gerakan tai-chi, menunggu tetesan demi tetesan seolah waktu tak ada. Di sini, kopi bukan minuman, melainkan meditasi.
Pelanggan duduk, kadang sendirian dengan buku atau laptop, kadang dalam kelompok yang bercakap dengan suara rendah. Mereka adalah para flâneur urban, penikmat jeda dalam kota yang sebenarnya tak pernah berhenti bergerak.
Sementara di fast bar, kopi adalah bahan bakar. Mesin espresso menderu, gelas-gelas kertas berjejal di meja pick-up, orang antre dengan wajah setengah sadar menunggu kafein menyentak saraf.
Di Bandung, tempat anak muda berlarian dari kampus ke coworking space, dari meeting ke hangout, fast bar adalah penyelamat. Tapi jangan salah, bahkan di ritme cepat ini, ada orang yang masih menyempatkan diri menghela napas sebelum menyeruput espresso-nya, sejenak mencuri waktu sebelum kembali ke hiruk-pikuk.
Budaya nongkrong di Bandung adalah negosiasi antara dua dunia ini. Di sudut-sudut kota, dari kedai kopi tua di Jalan Sumatra yang masih mempertahankan slow brew, sampai gerai-gerai modern di Paskal Hyper Square yang menyajikan take away dalam hitungan detik, orang-orang Bandung menjalani hidup dalam dua kecepatan. Mereka tahu kapan harus melambat, dan kapan harus lari.
Toh, di balik itu semua, kopi tetap menjadi alasan untuk berhenti, atau justru untuk terus bergerak. Seperti kata Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu tulisannya: "Kita minum kopi bukan untuk kopinya, tapi untuk cerita yang mengendap di dasarnya."
Di Bandung, cerita itu bisa panjang, bisa pendek. Tapi yang pasti, ia selalu ada, di antara slow bar yang merayu dan fast bar yang mendorong.
Mungkin, inilah esensi ngopi di Bandung: sebuah kota yang membiarkanmu memilih, tapi tak pernah benar-benar membiarkanmu pergi begitu saja.