Ada seorang anak yang tidak pernah tumbuh. Ia bersembunyi di balik pintu-pintu yang kita kunci rapat, mengetuk-ngetuk dengan kepalan kecilnya, kadang menjerit, kadang menangis, tapi lebih sering diam, seperti mayat hidup yang menunggu untuk dikubur atau dihidupkan kembali.
Kita menyebutnya inner child: bayangan diri yang terluka, yang terpaksa berhenti bernapas karena suatu peristiwa, suatu luka, atau sekadar ketiadaan kata-kata yang mampu menjelaskan mengapa dunia begitu dingin.
Tapi bagaimana cara menguburnya, atau justru membangunkannya?
1. Mengakui bahwa Anak Itu Ada
Pertama, kita harus berani membuka pintu.
Banyak orang lebih memilih berlari, mengubur ingatan dengan kerja keras, alkohol, atau hubungan-hubungan yang hanya menjadi pelarian. Tapi anak itu tetap ada. Ia tidak mati, hanya terpenjara.
Seperti dalam cerita-cerita horor, hantu tidak akan pergi sebelum kisahnya didengarkan.
2. Memberinya Suara
Anak-anak sering kali tidak punya kata-kata untuk melukiskan rasa sakit. Mereka menangis, memberontak, atau diam membeku.
Cobalah tulis surat untuknya. Tanyakan: Apa yang kau inginkan? Apa yang kau takuti? Kadang, jawabannya sederhana: Aku hanya ingin dipeluk.
3. Menciptakan Ulang Kenangan
Ingatan bukanlah kebenaran mutlak, melainkan narasi yang bisa ditulis ulang.
Jika dulu ada luka karena ketiadaan figur ayah, cobalah menjadi ayah bagi diri sendiri sekarang. Jika dulu ada rasa malu yang dipendam, katakan pada anak itu: Kau tidak bersalah.
4. Membiarkannya Hidup atau Mati
Tidak semua inner child harus dihidupkan kembali. Beberapa perlu dikubur dengan hormat.
Ada luka yang tidak akan sembuh, tapi kita bisa belajar membawa bekas lukanya tanpa terus-menerus berdarah. Seperti kata Nietzsche: Apa yang tidak membunuhmu, membuatmu lebih kuat. Tapi Nietzsche lupa mengatakan bahwa yang tidak membunuhmu kadang meninggalkan bekas luka yang gatal di malam hari.
5. Menjadi Orang Dewasa yang Bertanggung Jawab
Pada akhirnya, inner child bukanlah alasan untuk terus menjadi korban.
Kita boleh berduka untuk masa kecil yang hilang, tapi suatu saat harus memutuskan: apakah akan terus meratap atau bangkit dan berkata, Sekarang, aku yang memegang kendali.
Di suatu tempat dalam diri kita, ada kuburan atau taman bermain. Pilihan ada di tangan kita: mengubur anak itu dengan damai, atau memberinya mainan yang dulu tak pernah ia dapatkan.
Yang pasti, jangan biarkan ia menjadi hantu yang terus menghantui. Sebab hidup ini terlalu singkat untuk menjadi penjara dari masa lalu.