Kenapa Cewek Bandung Cantik-cantik?

yumna kemal cewek bandung mojang sunda

Jika pernah bertanya mengapa cewek Bandung cantik-cantik, maka kamu sudah terjebak dalam ilusi pasar. Sebab, "cantik" hari ini bukan lagi soal sorot mata teduh atau lekuk tubuh yang memesona, melainkan algoritma Instagram yang memutuskan mana yang aesthetic dan mana yang skip.

Kecantikan adalah konstruksi kapitalis, sebuah produk yang dijual dalam kemasan skincare 12-step, bibir overlined, dan alis microblading yang lebih tajam daripada nasib kaum proletar.

Sangkuriang dan Tragedi Oedipus ala Pasundan

Mari kita tengok mitos Sunda: Sangkuriang, yang jatuh cinta pada ibunya sendiri. Ini bukan sekadar kisah incest, melainkan metafora bagaimana kecantikan Sunda begitu memabukkan sampai seorang anak lupa darah dagingnya sendiri.

Dayang Sumbi, sang ibu, digambarkan jelita hingga menginspirasi pembuatan danau dan perahu dalam semalam, sebuah effort yang, jika terjadi hari ini, mungkin hanya setara dengan date night di The Peak dengan lighting instagrammable.

Lalu ada Dyah Pitaloka, putri Sunda yang kecantikannya memicu Perang Bubat. Raja Majapahit, Gajah Mada, ngotot meminangnya, tapi karena salah paham (atau mungkin ghosting ala zaman kerajaan), pertumpahan darah pun terjadi. Pelajaran moralnya: jika jadi cewek Sunda, siap-siap jadi penyebab perang, atau setidaknya, pertengkaran di kolom komentar TikTok.

Cantik Tapi Matre: Stigma yang Tak Pernah Usang

Cewek Sunda cantik? Tentu. Tapi masyarakat juga berbisik: "Ah, tapi matre." Ini adalah stigma turun-temurun, seolah kecantikan mereka adalah investment yang harus dibayar dengan tunai, credit card, atau commitment dalam bentuk cincin berlian.

Tapi siapa yang salah? Sistem kapitalisme atau para lelaki yang terjebak dalam toxic masculinity dengan anggapan "gue harus bayarin semua"?

Jadi, kenapa cewek Bandung cantik? Mungkin karena mereka harus bertahan dalam sistem yang menjadikan kecantikan sebagai mata uang. Mereka cantik karena sejarah menuntutnya, karena pasar menginginkannya, dan karena para Sangkuriang modern rela menggadaikan akal sehat demi senyum mereka.

Tapi jangan lupa: di balik highlight contour dan outfit thrifting yang aesthetic, mereka juga korban. Korban standar kecantikan yang diciptakan oleh algoritma, mitos, dan obsesi lelaki yang sejak zaman Bubat tak pernah belajar dari sejarah.

Pekerja teks komersial, juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku dengan kearifan lokal

Posting Komentar

© Kopi Bandung. All rights reserved. Developed by Jago Desain