Kenapa FGO Disebut Game Wayang?

Fate/Grand Order, seperti wayang, mengandalkan kekuatan cerita di balik gameplay kolot.
minami tanaka rie takahashi fgo game wayang fate grand order

Banyak yang menyebut Fate/Grand Order, atau FGO, sebagai game wayang. Ini ejekan yang merujuk pada layar datar, gerak kaku, dan giliran tempur yang seperti boneka kulit digerakkan dalang.

Tapi benarkah ini penghinaan? Atau justru pengakuan bahwa di balik kesederhanaan visualnya, FGO adalah pertunjukan naratif yang memikat, seperti wayang yang bukan sekadar tontonan, melainkan ngeri-ngeri sedapnya kehidupan?

FGO Bukan Sekadar Game Wayang

Memang, jika dibandingkan game gacha kekinian, misalnya Genshin Impact yang memamerkan dunia 3D open world atau Honkai: Star Rail dengan animasi cinematic, FGO terasa seperti panggung sederhana. 

Di FGO, karakter berdiri berjajar, menyerang satu per satu, tanpa efek spektakuler. Tapi bukankah wayang juga begitu? Bayangan di balik kelir, bergerak terbatas, tapi mampu menghidupi epik Mahabharata atau satire politik yang pedas.

FGO, seperti wayang, mengandalkan kekuatan cerita. Ia mungkin tak butuh grafis canggih untuk membuat Master, alias para pemain, terikat pada Servant-nya. Yang dibutuhkan hanya teks yang ditulis dengan darah dan air mata, kisah tentang pahlawan yang terlupakan, pengorbanan yang sia-sia, dan ikatan yang bertahan melintasi waktu.

Tapi jangan salah: "wayang" ini menghasilkan uang lebih banyak daripada banyak game AAA. Pendapatan Rp100 triliun bukanlah lelucon. Bagaimana bisa game dengan gameplay "kolot" ini tetap hidup?

Jawabannya mungkin mirip dengan wayang: orang tidak datang untuk melihat teknik pertunjukan, melainkan untuk mendengarkan lakon. 

Pemain FGO bertahan karena mereka mencintai karakter-karakternya. Bukan sebagai sprite 2D, tapi sebagai entitas yang punya sejarah, konflik, dan emosi. Ketika Musashi mengorbankan diri di Lostbelt 5, atau ketika Romani Archaman menghilang, pemain menangis bukan karena grafisnya, tapi karena narasinya menyentuh.

Game Wayang Tak Lekang Zaman

Industri game modern terjebak dalam perlombaan grafis dan open-world, seolah-olah kecanggihan teknis adalah segalanya. Tapi FGO membuktikan bahwa yang membuat game bertahan adalah jiwa-nya.

Seperti dalang yang bisa membuat penonton terpukau hanya dengan suara dan gerakan minimal, Type-Moon dan Aniplex memahami bahwa yang terpenting bukanlah bagaimana tampilannya, tapi bagaimana ceritanya bernafas.

Mungkin "game wayang" bukanlah ejekan, melainkan pujian terselubung. Sebab, wayang tak pernah mati, ia hanya berubah bentuk. Dan FGO adalah wayang digital yang, meski diolok-olok, tetap memainkan lakon terbaiknya: kisah tentang manusia yang terus berjuang, meski dunia hendak runtuh.

Akhir kata, jika disebut "game wayang", biarlah. Sebab wayang pun punya kekuatan mengubah bayangan menjadi nyawa. Dan FGO? Ia sudah melakukannya untuk jutaan pemainnya.

Pekerja teks komersial, juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku dengan kearifan lokal

Posting Komentar

© Kopi Bandung. All rights reserved. Developed by Jago Desain