Ada sesuatu yang ganjil dalam cara kita melihat, atau lebih tepatnya, cara kita diajak melihat. Industri konten digital hari ini tidak hanya menjual produk, tapi juga hasrat yang terkomodifikasi.
Media sosial telah mengubah cara orang menampilkan diri kepada dunia sejak pertama kali muncul, dan thirst trap adalah salah satu dari banyak fenomena yang dihasilkan oleh teknologi ini.
Postingan-postingan ini dengan reaksi-reaksinya memvalidasi dan mengekspresikan suatu bentuk hubungan antarmanusia. Namun, apa yang menyebabkan orang-orang mengunggah thirst trap? Mengapa konten ini tampak begitu menarik, dan apa yang diungkapkannya?
Ketika Pandangan Menjadi Komoditas
Male gaze, yang berarti sudut pandang laki-laki yang mengobjektifikasi perempuan, tidak lagi sekadar konsep teori film Laura Mulvey. Kini sudah jadi mekanisme ekonomi yang bekerja dengan presisi mesin. Kemudian bertemu dengan fenomena baru: thirst trap, strategi di mana subjek, yang seringnya perempuan, secara sadar mengarahkan pandangan itu kembali, memanfaatkannya sebagai mata uang.
Male gaze adalah warisan panjang patriarki yang mengubah tubuh perempuan menjadi spectacle. Namun, di era algoritma, relasi kuasa itu tidak lagi sepenuhnya sepihak.
Thirst trap, konten yang sengaja dirancang untuk memancing hasrat, adalah bentuk perlawanan sekaligus penyerahan. Ia adalah senjata yang dipinjam dari musuh: jika tubuh akan dikonsumsi, mengapa tidak mematok harganya?
Tapi di balik ilusi kontrol itu, ada pertanyaan yang mengendap: apakah thirst trap benar-benar membebaskan, atau hanya memberi kandang yang lebih mewah? Ketika seorang influencer membangun personal brand dengan sensualitas, apakah ia subjek yang berdaulat, atau sekadar pelaku self-objectification yang menginternalisasi hasrat patriarkal?
Platform Validasi dan Siklus Self-Esteem
Ekonomi media sosial pada dasarnya bergantung pada validasi orang, dan thirst trap sangat cocok untuk itu.
Menurut Hierarki Kebutuhan Maslow, penghargaan diri merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar, sebuah 'keinginan' manusia akan rasa hormat dan pengakuan. Sekadar suka atau komentar yang menyanjung dapat berfungsi sebagai penegasan yang kuat, membantu memperkuat rasa harga diri pengguna.
Namun ada satu kendala. Validasi dari dunia luar ini dapat menimbulkan harapan sementara untuk menciptakan kecanduan. Ketika harga diri diperkenalkan dengan umpan balik daring, hal itu menjadi sangat rentan. Performa sebuah unggahan yang kurang engangement dapat memicu perasaan tidak mampu. Hal ini menciptakan situasi unggahan kompulsif di mana individu terus-menerus berusaha mendapatkan kembali validasi yang telah hilang.
Media sosial seperti Instagram dan TikTok adalah pasar hasrat. Algoritma mereka dirancang untuk mengoptimalkan keterlibatan (engagement), dan thirst trap adalah umpan yang sempurna. Setiap scroll, setiap like, adalah transaksi kecil di mana perhatian dan hasrat dikonversi menjadi modal.
Tapi platform bukanlah ruang kosong. Ia memiliki aturan tak tertulis: tubuh seperti apa yang boleh viral, narasi seperti apa yang dihargai. Di sini, male gaze tidak hilang, hanya beradaptasi. Perempuan yang berhasil memanfaatkan thirst trap seringkali tetap sesuai dengan standar kecantikan yang ditetapkan oleh pandangan maskulin: muda, langsing, bersih dari kritik.
Mungkin yang menarik dari fenomena ini adalah ambivalensinya. Thirst trap bisa dibaca sebagai bentuk agensi: seorang perempuan yang sadar akan kekuatan tubuhnya dan memanfaatkannya untuk keuntungan ekonomi. Tapi agensi itu tumbuh di tanah yang sudah tercemar oleh logika pasar dan patriarki.
Thirst trap seringkali melintasi batas antara pemberdayaan dan objektifikasi. Bagi sebagian orang, mengunggah postingan merupakan tindakan agensi, yang merepresentasikan perayaan melalui tubuh, kepercayaan diri, atau humor mereka yang diwujudkan dalam tindakan.
Namun, beberapa orang mungkin mengunggah postingan terutama untuk mendapatkan persetujuan publik, yang dapat membuat mereka merasa rendah diri jika tanggapan yang diberikan kurang dari hasil yang diharapkan.
Semua ini berkaitan dengan motivasi. Pemberdayaan bersifat intrinsik dan kekuatan berasal dari kepercayaan diri dan ekspresi dari dalam. Objektifikasi muncul dari ketergantungan harga diri yang berlebihan pada penilaian dari luar. Batas tipis antara pemberdayaan dan objektifikasi mendefinisikan bagaimana thirst trap seringkali menjadi pedang bermata dua dalam perannya sebagai identitas dan persepsi diri seseorang.